Jumat, 16 Januari 2015

17 Januari yang menghenyakkan.

Kupikir, 17 Januari akan menjadi hari yang indah. Kenyataan berkata tidak.

Aku tengah tersenyum membaca pesan lama mu, atau kita, hingga seorang sahabat menceritakan kepahitan perusak hariku. Katanya, seorang teman sekelas, juga kau perlakukan sebagaimana kamu memperlakukanku. Di pesan facebook, pesan singkat, apalah itu, kalian menyembunyikannya, atau lebih parah, kalian merahasiakannya.

Aku menunggu pesanmu yang akhirnya datang menanyakan perihal konten kelulusan sekolah, katalog, entahlah. Aku mencoba mengungkapkan kemarahanku dengan balasan berbahasa singkat. Bahasa yang belum pernah kukeluarkan padamu sebelumnya, oke pernah sekali, dan saat itu aku sedang berkondisi seperti ini. Tak ada bedanya, hati yang gundah, pikiran yang bercampur aduk, rasa kaki ingin menendang tiap benda apa yang mendekati. Aku menunggumu peka keadaan dengan perlakuan berbeda kepadamu daripada biasanya. Aku menunggumu. Sekali lagi, aku menunggumu.

Kepekaanmu tak kunjung datang, hingga aku mengucapkan dua rentetan kata yang seketika menghenyakkanmu. Kau menanyakan apa yang terjadi yang kujawab dengan entahlah, tak tau, mungkin. Kata menggantung yang kuharap membuatmu merasa bersalah dan memohon maafku, namun, sepertinya tak membuahkan hasil. Benar, sia-sia.

Aku mengharapkan akhir yang indah pada kita. Aku menyayangimu, seseorang yang kusebut kau di cerita ini. Sadarlah, aku mulai mencintaimu.